Jadilah Bangsa yang Besar, bukan Sekedar Merasa Besar

Banyak nama jalan di Indonesia telah ditinta emas dengan nama Pahlawan. Selain jalan, nama pahlawan kita telah banyak juga dipahat di bandara, rumah sakit, sekolah dan perguruan tinggi. Tapi simak setelah masa Soeharto seolah tidak ada lagi pahlawan baru. Mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur yang telah almarhum pun bakal pro dan kontra bila dijadikan pahlawan.

JADILAH BANGSA YANG MEMBANGUN UNTUK RAKYAT, bukan sibuk BERKELIT DEMI RAKYAT

Dimana pun sesungguhnya sejarah selalu menarik. Namun yang paling menarik bila generasi berikutnya tidak mau mempelajari sejarahnya. Berarti ada kesamaan perilaku antara yang dipelajari dan yang mempelajari. Yang dipelajari itulah pelaku sejarah. Yang mempelajari adalah generasi berikut.

 

Juga belum terdengar kabar ada lukisan raksasa atau potret besar salah seorang pahlawan Indonesia terpajang sebagai back drop di tempat penerimaan tamu negara, di tempat pidato, atau ruang-ruang rapat kenegaraan. Hingga saat pidato kenegaraan, baik di Istana Negara, di gedung MPR DPR, serta Mahkamah Agung, sia-sia kita mencari back drop dengan lukisan raksasa pahlawan atau founding father Indonesia.

 

Maka, tidak perlu heran bila di tempat-tempat kenegaraan pun terus kering, hampa, tidak ada aroma heroik yang membetot pikiran ke masa silam saat-saat Indonesia didirikan. Berapa banyak moment penting berlalu saat pidato tamu asing yang jadi liputan dunia tidak terbalut heroisme Indonesia. Sebagai bangsa yang katanya besar, acara kenegaraan tidak memberi pesan apa-apa. Yang ada cuma tembok putih, sama seperti tembok Gedung Putih dan rumah dimanapun.

 

Maka saat Presiden Barack Obama berpidato di Indonesia, back dropnya cuma tembok putih. Sedang ketika Obama pidato di parlemen India, dibelakangnya terpampang lukisan besar seorang Pahlawan mereka. Barack Obama boleh mewakili negara adidaya, tapi saat pidato di India, Obama hanyalah tamu. Meski diam back drop lukisan raksasa pahlawan India ini punya seribu pesan.

Meski cuma gambar, namun itulah bedanya bangsa yang menghargai pahlawan dengan bangsa yang masih mencari-cari jati diri. Memang beda bangsa yang membangun negeri untuk rakyatnya dengan bangsa yang berkelit membangun untuk rakyat, sementara asing telah menguasai apa pun.

 

Semasa hidup, Soekarno disejajarkan dengan Jawaharlal Nehru dan Josip Broz Tito. Setelah tiada Soekarno tetap dihargai. Tapi itu di Negeri orang. Di Negeri sendiri?
Maka berlebihankah bila dikatakan sejarah Indonesia gagal mendidik karakter bangsa?

Sesungguhnya bukan sejarahnya yang gagal. Namun cara berpikir yang kerdil, itulah tantangan terbesar kita. Bangsa kita adalah bangsa yang besarnya cuma jumlah penduduk. Namun tidak ditakuti bahkan oleh negara tetangga jiran yang besarnya tidak lebih luas dari Jakarta.

 

Kita marah pada negeri jiran lain yang seolah mencuri budaya kita. Soalnya mengapa kita tidak bisa memelihara warisan dengan sebaik-baiknya. Jangan resah dan jangan marah negeri jiran yang melecehkan kita dengan mengatakan ‘Indon’. Tapi marahlah mengapa kita tidak punya karakter!!

 

 

Share and Like Kampus Umar Usman Kuliah 1 Tahun Jadi Pengusaha mencetak Pengusaha-pengusaha muda berkarakter.

Di buka Kelas khusus Weekend Batch#1
fokus Internet Marketing
Kelas dimulai 4 November 2017.

Pendaftaran : 0858.8853.8899 (Miss Prap)

 

sumber : Buku Best Practise Character Building : Menuju Indonesia yang lebih baik. Karya Erie Sudewo

1 thought on “Jadilah Bangsa yang Besar, bukan Sekedar Merasa Besar”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *